Sejarah Perjalanan Stand Up Comedy Indonesia

Sejarah Perjalanan Stand Up Comedy Indonesia
Sejarah Perjalanan Stand Up Comedy Indonesia - "Kita panggilkan, Joselito. Si pelawak tua." Seorang laki-laki muda dengan rambut mulai memutih berdiri menyusul seruan itu. Ia berjalan ke hadapan 20 orang yang sedang duduk meriung di Taman Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu sore 16 Desember lalu.

"Nama saya Joselito. Biasa dipanggil Opa Joselito. Nggak ada yang percaya umur saya masih 17 tahun," ujarnya dengan mimik serius. Kontan, derai tawa menyembur dari 20 orang tadi. Maklum, Joselito memang memiliki tampang baby face, hampir seperti remaja tanggung. Cuma rambut dan perawakannya yang menunjukkan bahwa dia berusia 20-an tahun.

Adegan itu adalah secuplik kegiatan Stand Up Rasuna, kelompok pencinta stand up comedy yang tiap Minggu rutin berlatih di Taman Rasuna Epicentrum. Anggotanya merentang dari yang masih amatir hingga yang sudah sering pentas di kafe. Para comic (sebutan bagi komedian stand up) ini punya mentor, yakni Ramon Pratomo, 55 tahun, comic senior yang beken dengan nama panggung Ramon Papana atau Ramon P. Tommybenz.

Dulu, sebelum berlatih di Taman Rasuna, mereka biasa nongkrong di Comedy Cafe, Kemang, yang kebetulan dimiliki Ramon. Tiap Rabu, di sana ada acara "Open Mic" atau panggung bebas para comic. Sayang, Comedy Cafe tutup karena masalah finansial. Venue latihan pun pindah ke taman. "Bikin kafe nggak pernah untung," kata Ramon agak menyeringai.

Di dunia stand up comedy Tanah Air, nama Ramon memang tidak asing lagi. Dia bahkan bisa disebut sebagai pelopor. Pada 1992, ketika istilah stand up comedy masih asing di telinga banyak orang, Ramon sudah menggelar acara lomba lawak tunggal yang menjadi cikal bakal stand up comedy di Indonesia.

Namun cap sebagai pelopor itu punya konsekuensi tidak enak juga. Kata Ramon, dia merasa selama ini dicuekin para pelawak tradisional yang tergabung di Persatuan Artis Seniman Komedi Indonesia (PASKI). Ramon menduga, popularitas stand up comedy membuat sebagian pelawak tradisional khawatir genre lelucon mereka akan ditinggalkan peminat. "Aku dianggap akan menjungkirbalikkan periuk nasi mereka," katanya.

***

Stand up comedy memang bukan lawakan asli Indonesia. Ia berakar di Barat, tepatnya Inggris, pada abad ke-18, lalu menyebar ke Amerika, dan terus bertransformasi hingga mencapai bentuk yang mapan seperti sekarang. Bahkan kamus Oxford dan Webster, misalnya, baru mulai memasukkan entri stand up comedy pada edisi 1966, yang didefinisikan sebagai aktivitas ketika pelawak menceritakan lelucon yang bersifat monolog atau satire dengan berdiri seorang diri di depan hadirin. Bila kelahiran stand up comedy dihitung dari mulai munculnya istilah itu secara resmi di kamus, maka usia stand up comedy sebagai genre lawak memang masih muda, baru 46 tahun.

Ramon yang pada 1990-an sudah mapan berkarier sebagai seorang disk jockey (DJ) di luar negeri --ia bahkan mendirikan sekolah khusus DJ-- mulai serius tertarik pada genre stand up tahun 1991. Ketika itu, ia berkunjung ke Inggris untuk menyaksikan lomba Disco Mix Club World DJ Championship dan melihat berbagai genre komedi yang sangat berbeda dari yang biasa ditonton di Tanah Air.

Pulang ke Tanah Air, Ramon memang tidak langsung terjun ke dunia stand up. Ia juga pernah terlibat dalam penggarapan lawak tradisional Betawi, yakni "Lenong Bocah". Baru pada 1993, berkongsi dengan pelawak Harry DeFretes, Ramon akhirnya menggelar lomba stand up comedy untuk pertama kalinya, bertempat di Kafe Boim milik Harry. Ketika itu, nama stand up belum resmi dipakai untuk nama lomba, hanya dijelaskan di pembukaan acara. Nama resmi untuk lomba yang digelar Ramon dan Harry waktu itu adalah "Lomba Pidato Humor".

Keinginan membesarkan stand up comedy makin kuat ketika Ramon mulai membuka kafe sendiri, yakni Comedy Cafe, pada 1997. "Stand up itu biasa dimulai dari club atau kafe," ia menjelaskan alasan berdirinya Comedy Cafe.

Di kafe itulah ia mulai menggelar "Open Mic". Siapa pun yang berniat (atau berani) ber-stand up-ria, dipersilakan tampil. Meski seringkali panggung "Open Mic" yang telah disiapkan justru sepi karena tidak ada yang berani maju. Saking sepinya, Ramon kadang sampai harus memaksa pegawai kafenya naik melawak. "Kadang saya ancam. Nggak mau naik, dipecat," ungkapnya sambil tertawa.

Sayang, perjalanan bisnis Comedy Cafe tidak secerah stand up comedy. Sejak 1997, kafe yang pertama kali jadi tempat mangkal para comic itu tercatat sampai beberapa kali pindah lokasi. Dari Kemang (1997), lalu Taman Ria Senayan (1999-2000), kemudian ke Pasar Festival (2008-2011), kembali lagi ke Kemang (2011-2012), setelah itu tutup.

Pada masa-masa itu, Ramon sebenarnya juga hendak memperluas jangkauan stand up comedy sampai ke televisi. Ia menawarkan konsep acara stand comedy ke stasiun TV RCTI dan TPI pada 1997. Namun gayung tak bersambut. Konsepnya ditolak dengan alasan tidak cocok dengan tema lawak yang sedang "in". Waktu itu, lawak tradisional seperti ketoprak humor, ludruk, atau Srimulat memang sedang marak.

Tapi, mengapa justru pada 2012 stand up comedy jadi populer? "Indonesia sudah pinter," begitu jawabnya. Menurut Ramon, booming stand up comedy terkait erat dengan kebebasan pasca-reformasi dan ditunjang oleh tingginya penyerapan informasi oleh masyarakat.

***

Stand up comedy memang berbeda dari lawak tradisional biasa. Lelucon dalam stand up tidak berbasis gerakan (slapstick) dan durasinya singkat. Dalam 15 menit pertunjukan, misalnya, seorang comic bisa membawakan sampai puluhan joke. Satu joke kadang cuma terdiri dari beberapa baris kalimat, hingga disebut one-liner.

Berikut contoh klasik yang disebut Ramon: "Sebagai pria mapan, saya jauh dari kelemahan. Saya tidak merokok, tidak berjudi, tidak selingkuh, apalagi mabuk-mabukan. Mungkin hanya satu kelemahan saya... tukang bohong."

Menurut Ramon, dalam contoh itu, kalimat terakhir menjungkirbalikkan gambaran awal (set up) tentang sosok pria sebelumya. Kejutan pun muncul. Kalimat terakhir itu disebut punch dan berfungsi memancing tawa.

Ramon menjelaskan, set up/punch adalah struktur dasar dalam penulisan lelucon stand up. Bila ada lelucon yang tidak memiliki format set up dan punch yang jelas, maka materi itu belum bisa disebut stand up comedy. Sebab stand up comedy memang genre lawak yang sifatnya spesifik. Ini pula yang membedakan stand up comedy dari lawak tunggal yang biasa membawakan anekdot. "Sebelum orang mau stand up, dia harus tahu bedanya dengan lawak tunggal," tuturnya.

Dalam perkembangan di Barat, struktur dasar set up/punch memang terus berkembang jadi lebih kompleks. Selain itu, tema-tema stand up di Barat juga sangat bebas, sesuai dengan tradisi liberal. Joke-joke-nya bisa jorok, bahkan menyerang komunitas dan ideologi tertentu.

Salah satu contoh adalah komedian George Carlin (Amerika Serikat), yang joke-nya tentang aktivitas lingkungan sangat populer. "Saya capek dengan aktivis lingkungan. Mereka khawatir sekali dengan bumi. Mereka juga arogan, menganggap manusia mampu membahayakan bumi. Padahal, bumi baik-baik saja. Usianya sudah lima milyar tahun, sudah mengalami hal buruk: gempa, gunung meletus, pergeseran tektonik, pemisahan benua, badai matahari, badai magnetik, perubahan kutub magnet, badai es, bombardir komet dan asteroid selama ratusan tahun, dan para aktivis ini khawatir tentang... plastik?"

Ramon tidak terlalu sreg dengan joke-joke ofensif semacam itu. Menurut dia, kultur di Indonesia menuntut adanya batasan dalam stand up comedy. Di buku karyanya, Kiat Tahap Awal Belajar Stand Up Comedy Indonesia (dengan enak ia singkat jadi KiTAB SUCI), Ramon menulis bahwa para comic Indonesia haruslah menghindari SARAP (suku, agama, ras, antar-golongan, pornografi).

Sayangnya, booming stand up comedy di Indonesia sepanjang 2012 juga tidak bisa menghindari wilayah sensitif itu. Ramon bahkan melihat, saat ini sudah ada distorsi. Dari materi dari lelucon yang sudah sangat populer (dan aus di telinga), vulgar, sampai menghina orang atau institusi. "Saya nggak mau orang nanti mengidentikkan stand up dengan menghina-hina atau lelucon jorok," katanya.

Ia menyebut nama Soleh Solihun yang kerap muncul di Metro TV sebagai comic yang sering menyebutkan alat kelamin, nama binatang, dan umpatan dalam penampilannya. Ramon bahkan pernah mendengar ada seorang comic yang dipukuli setelah manggung di Pamulang, Banten. "Dia waktu stand up menghina-hina FPI," ujarnya.

Perbedaan ini pula yang membuat Ramon jadi berjarak, atau bahkan bisa dibilang berseberangan, dengan para comic muda yang bergabung lewat akun Twitter @StandUpIndo. "(Joke) mereka itu jorok-jorok dan suka menghina orang," katanya.

Meski mengatasnamakan lelucon, menurut Ramon, comic di Indonesia tetap terikat dengan beberapa batasan. "Di Indonesia, ada tiga huruf yang bikin ngeri: MUI, KPI, FPI, TNI," ucapnya sembari nyengir.

***

Perkembangan stand up comedy Indonesia memang menemukan momentum setelah acara itu populer di TV, terutama sejak ditayangkan di Metro TV pada September 2011, lalu ditayangkan di Kompas TV. Produser acara stand up comedy Metro TV, Agus Mulyadi, menjelaskan bahwa ide untuk menayangkan komedi stand up itu sebenarnya sudah lama. Namun minimnya potensi comic dan kurangnya pemahaman jajaran redaksi membuat ide itu tidak kunjung terlaksana. "Mungkin waktu itu timing-nya belum tepat," ujarnya.

Baru pada Agustus 2011, ide Agus diterima dan mulai digarap secara serius. Menurut Rosalina Theodora, produser yang sempat terlibat di tiga episode awal stand up ini, ketika itu concern utama tim redaksi adalah tingkat kewajaran materi-materi yang akan disampaikan. Sebab ada kekhawatiran joke-joke di stand up kebablasan.

Oleh Agus, kekhawatiran itu akhirnya disiasati dengan tidak menyiarkan acara tersebut secara langsung, melainkan direkam (taping) dan diedit lebih dulu. Editing itu juga menjadi semacam penjaga gawang kalau ada materi-materi yang terlalu berlebihan. Tapi kecolongan kadang juga terjadi.

Agus lalu bercerita bahwa pada September 2012, acara stand up ditegur Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara. Pasalnya, salah satu comic, yakni Fauzi, membawakan joke tentang etnis India. Salah satu lawakannya, ia bertutur, "Orang India nggak bisa jadi polisi, mau nembak kepalanya goyang-goyang."

Fauzi sebenarnya juga orang India dan biasanya menjadikan etnis sendiri sebagai lelucon yang relatif bisa diterima, karena masuk kategori menertawakan diri sendiri. Tapi rupanya ada warga India di Sumatera yang keberatan dan melaporkan ke KPID. Acara stand up akhirnya dinilai melanggar Undang-Undang Nomor Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Metro TV diharuskan meminta maaf dalam running text dan iklan selama tiga hari berturut-turut. "Waktu itu kami hadapi saja, sekalian buat perbaikan," kata alumnus Institut Kesenian Jakarta itu.

Tapi popularitas acara stand up tetap tidak berkurang oleh prtotes tersebut. Justru terus naik. Bahkan saat ini tim redaksi sudah bisa mengundang orang-orang berlatar belakang profesi lain untuk ikut ber-stand up. Ketika wartawan Gatra Edmiraldo Siregar ikut menyaksikan proses taping stand up di studio Metro TV malam itu, misalnya, para comic yang sedang direkam adalah pendeta dan beberapa anggota polisi dari Polda Jawa Barat -- untuk episode Natal.

Agus menjelaskan, para comic amatir itu memang diundang, diseleksi, lalu diberi pembekalan selama dua minggu oleh tim redaksi. Beberapa anggota polisi yang ber-stand up saat itu relatif bisa menghibur, walau banyak juga yang tidak lucu. Namun antusiasme mereka tinggi. Salah satu anggota polisi bahkan masih terus asyik ber-stand up-ria, meski tim Metro sudah angkat rambut (closing).

Hanya, Agus juga mengakui, saat ini banyak comic yang tampil di Metro TV belum bisa menunjukkan "roh" stand up yang sebenarnya. "Mengutip Ramon Papana, stand up bukanlah lawak berdiri. Untuk comic di Metro, saat ini belum 100% menunjukkan roh stand up-nya," katanya.

Bahkan, menurut Agus, masih ada beberapa comic yang menampilkan joke kodian alias sudah "aus" karena telah banyak diketahui masyarakat. Tidak jarang pula seorang comic mengulang joke yang disampaikan di pentas sebelumnya. "Masih tumbuh, mungkin suatu saat bisa naik kelas," katanya.

Meski dengan segala variasi (sekaligus deviasinya), stand up comedy di Indonesia terus berkembang pesat. Ramon, misalnya, mencatat bahwa saat ini diperkirakan ada 1.000 comic di Indonesia, 100 orang di antaranya sudah benar-benar berprofesi (atau mengandalkan penghasilan) dari ber-stand up. Selain itu, klub-klub stand up juga terus muncul di berbagai daerah, seperti Jepara, Semarang, Manado, dan kota-kota lainnya.

Menurut Ramon, yang kini ia lebih banyak ber-stand up di acara-acara korporat (dengan tarif Rp 20 juta-30 juta). Hal pertama yang harus dimiliki seorang comic adalah mengubah mindset terlebih dahulu bahwa stand up comedy sangat berbeda dari tradisi lawak tradisional seperti ludruk atau Srimulat.

Ia menyarankan mereka yang tertarik untuk menjadi comic tidak "berusaha melucu" atau "tampil lucu", misalnya dengan gaya rambut atau kumis yang aneh, berkostum macam-macam, sengaja bersuara sengau, atau bahkan menggunakan alat bantu seperti styrofoam, ember, atau sapu.

Sebab berbagai atribut fisik atau peralatan yang diniatkan untuk membantu agar jadi lebih lucu itu justru akan menjauhkan si comic dari citra "Smart Comedian". Kelucuan stand-up comedy tidak bersumber dari atribut semacam itu (itu ciri lawak tradisional), melainkan dari logika verbal. "Prinsipnya, don't try to be funny, but tell something funny," ujarnya.

Basfin Siregar dan Cavin R. Manuputty
Tag : Sejarah
Komentar Facebook
Back To Top